Biografi Imam Syafi'i
- Bina Wisata
- 2 Mei 2018
- 10 menit membaca
Di kampung miskin di kota Ghazzah (orang Barat menyebutnya Gaza ) di bumi Palestina, pada th. 150 H (bertepatan dengan th. 694 M) lahirlah seorang bayi lelaki dari pasangan suami istri yang berbahagia, Idris bin Abbas Asy-Syafi`ie dengan seorang wanita dari suku Azad. Bayi lelaki keturunan Quraisy ini akhirnya dinamai Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie . Demikian nama lengkapnya sang bayi itu. Namun kebahagiaan keluarga miskin ini dengan kelahiran bayi tersebut tidaklah berlangsung lama. Karena beberapa saat setelah kelahiran itu, terjadilah peristiwa menyedihkan, yaitu ayah sang bayi meninggal dunia dalam usia yang masih muda. Bayi lelaki yang rupawan itu pun akhirnya hidup sebagai anak yatim.
Sang ibu sangat menyayangi bayinya, sehingga anak yatim Quraisy itu tumbuh sebagai bayi yang sehat. Maka ketika ia telah berusia dua tahun, dibawalah oleh ibunya ke Makkah untuk tinggal di tengah keluarga ayahnya di kampung Bani Mutthalib. Karena anak yatim ini, dari sisi nasab ayahnya, berasal dari keturunan seorang Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang bernama Syafiā bin As-Saāib. Dan As-Saāib ayahnya Syafiā, sempat tertawan dalam perang Badr sebagai seorang musyrik kemudian As-Saāib menebus dirinya dengan uang jaminan untuk mendapatkan status pembebasan dari tawanan Muslimin. Dan setelah dia dibebaskan, iapun masuk Islam di tangan Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Maka nasab bayi yatim ini secara lengkap adalah sebagai berikut:
Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafiā bin As-Saāib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Kaāab bin Luāay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Maāad bin Adnan.
Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifaā, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Saāib, ayahnya Syafiā. Kepada Syafiā bin As-Saāib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersabda:
āHanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau.ā (HR. Abu Nuāaim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 - 66).
Di lingkungan Bani Al-Mutthalib, dia tumbuh menjadi anak lelaki yang penuh vitalitas. Di usia kanak-kanaknya, dia sibuk dengan latihan memanah sehingga di kalangan teman sebayanya, dia amat jitu memanah. Bahkan dari sepuluh anak panah yang dilemparkannya, sepuluh yang kena sasaran, sehingga dia terkenal sebagai anak muda yang ahli memanah.
Demikian terus kesibukannya dalam panah memanah sehingga ada seorang ahli kedokteran medis waktu itu yang menasehatinya. Dokter itu menyatakan kepadanya: āBila engkau terus menerus demikian, maka sangat dikuatirkan akan terkena penyakit luka pada paru-parumu karena engkau terlalu banyak berdiri di bawah panas terik mata hari.ā Maka mulailah anak yatim ini mengurangi kegiatan panah memanah dan mengisi waktu dengan belajar bahasa Arab dan menekuni bait-bait syaāir Arab sehingga dalam sekejab, anak muda dari Quraisy ini menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan syaāirnya dalam usia kanak-kanak. Di samping itu dia juga menghafal Al-Qurāan, sehingga pada usia tujuh tahun telah menghafal di luar kepala Al-Qurāan keseluruhannya.
Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan syaāirnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulamaā fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafiā, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Saāid bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulamaā fiqih sebagaimana tersebut di atas.
Ia pun demi kehausan ilmu, akhirnya berangkat dari Makkah menuju Al-Madinah An Nabawiyah guna belajar di halaqah Imam Malik bin Anas di sana. Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwatthaā . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: āSeandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.ā Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: āBila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.ā Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwatthaā Imam Malik sehingga beliau menyatakan: āTidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qurāan, lebih dari kitab Al-Muwatthaā .ā Beliau juga menyatakan: āAku tidak membaca Al-Muwatthaā Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.ā
Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulamaā yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Saāad, Ismaāil bin Jaāfar, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Beliau banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.
Ketika Muhammad bin Idris As-Syafiāi Al-Mutthalibi Al-Qurasyi telah berusia dua puluh tahun, dia sudah memiliki kedudukan yang tinggi di kalangan Ulamaā di jamannya dalam berfatwa dan berbagai ilmu yang berkisar pada Al-Qurāan dan As-Sunnah. Tetapi beliau tidak mau berpuas diri dengan ilmu yang dicapainya. Maka beliaupun berangkat menuju negeri Yaman demi menyerap ilmu dari para Ulamaānya.
Disebutkanlah sederet Ulamaā Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Ismaāil bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sejak di kota Baghdad, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie mulai dikerumuni para muridnya dan mulai menulis berbagai keterangan agama. Juga beliau mulai membantah beberapa keterangan para Imam ahli fiqih, dalam rangka mengikuti sunnah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Kitab fiqih dan Ushul Fiqih pun mulai ditulisnya. Popularitas beliau di dunia Islam yang semakin luas menyebabkan banyak orang semakin kagum dengan ilmunya sehingga orang pun berbondong-bondong mendatangi majelis ilmu beliau untuk menimba ilmu. Tersebutlah tokoh-tokoh ilmu agama ini yang mendatangi majelis beliau untuk menimba ilmu padanya seperti Abu Bakr Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi (beliau ini adalah salah seorang guru Al-Imam Al-Bukhari), Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam, Ahmad bin Hanbal (yang kemudian terkenal dengan nama Imam Hanbali), Sulaiman bin Dawud Al-Hasyimi, Abu Yaāqub Yusuf Al-Buaithi, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi, Harmalah bin Yahya, Musa bin Abil Jarud Al-Makki, Abdul Aziz bin Yahya Al-Kinani Al-Makki (pengarang kitab Al-Haidah ), Husain bin Ali Al-Karabisi (beliau ini sempat di tahdzir oleh Imam Ahmad karena berpendapat bahwa lafadh orang yang membaca Al-Qurāan adalah makhluq), Ibrahim bin Al-Mundzir Al-Hizami, Al-Hasan bin Muhammad Az-Zaāfarani, Ahmad bin Muhammad Al-Azraqi, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh ilmu yang lainnya. Dari murid-murid beliau di Baghdad, yang paling terkenal sangat mengagumi beliau adalah Imam Ahmad bin Hanbal atau terkenal dengan gelar Imam Hanbali.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Mizzi dengan sanadnya bersambung kepada Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (putra Imam Hanbali). Beliau menceritakan: āAku pernah bertanya kepada ayahku: Maka ayahku menjawab: .ā
Diriwayatkan pula bahwa Sulaiman bin Al-Asyāats menyatakan: āAku melihat bahwa Ahmad bin Hanbal tidaklah condong kepada seorangpun seperti condongnya kepada As-Syafi`ie.ā Al-Maimuni meriwayatkan bahwa Imam Hanbali menyatakan: āAku tidak pernah meninggalkan doa kepada Allah di sepertiga terakhir malam untuk enam orang. Salah satunya ialah untuk As-Syafi`ie.ā
Diriwayatkan pula oleh Imam Shalih bin Ahmad bin Hanbal (putra Imam Hanbali): āPernah ayahku berjalan di samping keledai yang ditumpangi Imam Syafi`ie untuk bertanya-tanya ilmu kepadanya. Maka melihat demikian, Yahya bin Maāien sahabat ayahku mengirim orang untuk menegur beliau. Yahya menyatakan kepadanya: . Maka ayah pun menyatakan kepada Yahya: .ā
Di samping Imam Hanbali yang sangat mengaguminya, juga diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Tarikh nya dengan sanadnya dari Abu Tsaur. Dia menceritakan: āAbdurrahman bin Mahdi pernah menulis surat kepada As-Syafi`ie, dan waktu itu As-Syafi`ie masih muda belia. Dalam surat itu Abdurrahman meminta kepadanya untuk menuliskan untuknya sebuah kitab yang terdapat padanya makna-makna Al Qurāan, dan juga mengumpulkan berbagai macam tingkatan hadits, keterangan tentang kedudukan ijmaā (kesepakatan Ulamaā) sebagai hujjah / dalil, keterangan hukum yang nasikh (yakni hukum yang menghapus hukum lainnya) dan hukum yang mansukh (yakni hukum yang telah dihapus oleh hukum yang lainnya), baik yang ada di dalam Al-Qurāan maupun As-Sunnah. Maka As-Syafi`ie muda menuliskan untuknya kitab Ar-Risalah dan kemudian dikirimkan kepada Abdurrahman bin Mahdi.
Begitu membaca kitab Ar-Risalah ini, Abdurrahman menjadi sangat kagum dan sangat senang kepada As-Syafi`ie sehingga beliau menyatakan: āSetiap aku shalat, aku selalu mendoakan As-Syafi`ie.ā Kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi`ie akhirnya menjadi kitab rujukan utama bagi para Ulamaā dalam ilmu Ushul Fiqih sampai hari ini. Pujian para Ulamaā dan kekaguman mereka bukan saja datang dari orang-orang yang seangkatan dengan beliau dalam ilmu, akan tetapi datang pula pujian itu dari para Ulamaā yang menjadi guru beliau.
Antara lain ialah Sufyan bin Uyainah, salah seorang guru beliau yang sangat dikaguminya. Sebaliknya Sufyan pun sangat mengagumi Imam As-Syafi`ie, sampai diceritakan oleh Suwaid bin Saied sebagai berikut: āAku pernah duduk di majelis ilmunya Sufyan bin Uyainah.
As-Syafi`ie datang ke majelis itu, masuk sembari mengucapkan salam dan langsung duduk untuk mendengarkan Sufyan yang sedang menyampaikan ilmu. Waktu itu Sufyan sedang membaca sebuah hadits yang sangat menyentuh hati. Betapa lembutnya hati beliau saat mendengar hadits itu menyebabkan As-Syafi`ie mendadak pingsan.
Orang-orang di majelis itu menyangka bahwa As-Syafi`ie meninggal dunia sehingga peristiwa ini dilaporkan kepada Sufyan: . Maka Sufyan pun menyatakan: .ā
Demikian pujian para Ulamaā yang sebagiannya kami nukilkan dalam tulisan ini untuk menggambarkan kepada para pembaca sekalian betapa beliau sangat tinggi kedudukannya di kalangan para Ulama yang sejaman dengannya. Apalagi tentunya para ulamaā yang sesudahnya.
Imam As-Syafi`ie tinggal di Baghdad hanya dua tahun. Setelah itu beliau pindah ke Mesir dan tinggal di sana sampai beliau wafat pada th. 204 H dan usia beliau ketika wafat 54 th. Beliau telah meninggalkan warisan yang tak ternilai, yaitu ilmu yang beliau tulis di kitab Ar-Risalah dalam ilmu Ushul Fiqih. Di samping itu beliau juga menulis kitab Musnad As-Syafi`ie , berupa kumpulan hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang diriwayatkan oleh beliau; dan kitab Al-Um berupa kumpulan keterangan beliau dalam masalah fiqih. Sebagaimana Al-Um , kumpulan riwayat keterangan Imam As Syafi`ie dalam fiqih juga disusun oleh Al-Imam Al-Baihaqi dan diberi nama Maārifatul Aatsar was Sunan . Al-Imam Abu Nuāaim Al-Asfahani membawakan beberapa riwayat nasehat dan pernyataan Imam As-Syafi`ie dalam berbagai masalah yang menunjukkan pendirian Imam As-Syafi`ie dalam memahami agama ini. Beberapa riwayat Abu Nuāaim tersebut kami nukilkan sebagai berikut :
Imam As-Syafi`ie menyatakan: āBila aku melihat Ahli Hadits, seakan aku melihat seorang dari Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .ā (HR. Abu Nuāaim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz 9 hal. 109)
Ini menunjukkan betapa tinggi penghargaan beliau kepada para Ahli Hadits.
Imam As-Syafi`ie menyatakan: āSungguh seandainya seseorang itu ditimpa dengan berbagai amalan yang dilarang oleh Allah selain dosa syirik, lebih baik baginya daripada dia mempelajari ilmu kalam.ā (HR. Abu Nuāaim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz 9 hal. 111)
Beliau menyatakan juga: āSeandainya manusia itu mengerti bahaya yang ada dalam Ilmu Kalam dan hawa nafsu, niscaya dia akan lari daripadanya seperti dia lari dari macan.ā
Ini menunjukkan betapa anti patinya beliau terhadap Ilmu Kalam, suatu ilmu yang membahas perkara Tauhid dengan metode pembahasan ilmu filsafat.
Diriwayatkan oleh Ar-Rabiā bin Sulaiman bahwa dia menyatakan: Aku mendengar As-Syafi`ie berkata:
āBarangsiapa mengatakan bahwa Al-Qurāan itu makhluk, maka sungguh dia telah kafir.ā ((HR. Abu Nuāaim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz 9 hal. 113)
Diriwayatkan pula oleh Abu Nuāaim Al-Asfahani bahwa Al-Imam As-Syafi`ie telah mengkafirkan seorang tokoh ahli Ilmu Kalam yang terkenal dengan nama Hafs Al-Fardi, karena dia menyatakan di hadapan beliau bahwa Al-Qurāan itu adalah makhluk. Demikian tegas Imam As-Syafi`ie dalam menilai mereka yang mengatakan bahwa Al-Qurāan itu makhluk. Dan memang para Ulamaā Ahlis Sunnah wal Jamaāah telah sepakat untuk mengkafirkan siapa yang meyakini bahwa Al-Qurāan itu makhluk.
Al-Imam Adz-Dzahabi meriwayatkan pula dengan sanadnya dari Al-Buwaithie yang menyatakan: āAku bertanya kepada As-Syafi`ie: Maka beliau pun menjawabnya: . Akupun bertanya lagi kepada beliau: Maka beliau pun menjawab: .ā
Demikian Imam As-Syafi`i mengajarkan sikap terhadap Ahlil Bidāah seperti yang disebutkan contohnya dalam pernyataan beliau, yaitu orang-orang yang mengikuti aliran Rafidlah yang di Indonesia sering dinamakan Syiāah. Aliran Syiah terkenal dengan sikap kebencian mereka kepada para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , khususnya Abu Bakar dan Umar. Di samping Rafidlah, masih ada aliran bidāah lainnya seperti Qadariyah yaitu aliran pemahaman yang menolak beriman kepada rukun iman yang keenam (yaitu keimanan kepada adanya taqdir Allah Ta`ala). Juga aliran Murjiāah yang menyatakan bahwa iman itu hanya keyakinan yang ada di hati dan amalan itu tidak termasuk dari iman. Murjiāah juga menyatakan bahwa iman itu tidak bertambah dengan perbuatan ketaatan kepada Allah dan tidak pula berkurang dengan kemaksiatan kepada Allah. Semua ini adalah pemikiran sesat, yang menjadi alasan bagi Imam As-Syafi`ie untuk melarang orang shalat di belakang imam yang berpandangan dengan salah satu dari pemikiran-pemikiran sesat ini.
Imam As-Syafi`ie juga amat keras menganjurkan ummat Islam untuk jangan ber taqlid (yakni mengikut dengan membabi buta) kepada seseorang pun sehingga meninggalkan Al-Qurāan dan As-Sunnah ketika pendapat orang yang diikutinya itu menyelisihi pendapat keduanya.
Hal ini dinyatakan oleh beliau dalam beberapa pesan sebagai berikut:
Al-Hafidh Abu Nu`aim Al-Asfahani meriwayatkan dalam Hilyah nya dengan sanad yang shahih riwayat Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, katanya: āAyahku telah menceritakan kepadaku bahwa Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie berkata:.ā
Demikianlah para Ulamaā bersikap tawadluā sebagai kepribadian utama mereka. Sehingga tidak menjadi masalah bagi mereka bila guru mengambil manfaat dari muridnya dan muridnya yang diambil manfaat oleh gurunya tidak pula kemudian menjadi congkak dengannya. Tetap saja sang murid mengakui dan mengambil manfaat dari gurunya, meskipun sang guru mengakui di depan umum tentang ketinggian ilmu si murid. Guru-guru utama Imam Asy Syafi`ie, Imam Malik dan Imam Sufyan bin Uyainah, dengan terang-terangan mengakui keutamaan ilmu As-Syafi`ie. Bahkan Imam Sufyan bin Uyainah banyak bertanya kepada Imam Asy-Syafi`ie saat Imam Syafiāie ada di majelisnya. Padahal Imam Asy-Syafi`ie duduk di majelis itu sebagai salah satu murid beliau, dan bersama para hadirin yang lainnya, mereka selalu mengerumuni Imam Sufyan untuk menimba ilmu daripadanya. Tetapi meskipun demikian, Imam Syafi`ie tidak terpengaruh oleh sanjungan gurunya. Beliau tetap mendatangi majelis gurunya dan memuliakannya. Di samping itu, hal yang amat penting pula dari pernyataan Imam Asy-Syafi`ie kepada Imam Ahmad bin Hanbal tersebut di atas, menunjukkan kepada kita betapa kuatnya semangat beliau dalam merujuk kepada hadits shahih untuk menjadi pegangan dalam bermadzhab, dari manapun hadits shahih itu berasal.
Imam Asy-Syafi`ie menyatakan pula: āSemua hadits yang dari Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam maka itu adalah sebagai omonganku. Walaupun kalian tidak mendengarnya dariku.ā
Demikian beliau memberikan patokan kepada para murid beliau, bahwa hadits shahih itu adalah dalil yang sah bagi segala pendapat dalam agama ini. Maka pendapat dari siapapun bila menyelisihi hadits yang shahih, tentu tidak akan bisa menggugurkan hadits shahih itu. Bahkan sebaliknya, pendapat yang demikianlah yang harus digugurkan dengan adanya hadits shahih yang menyelisihinya.
P e n u t u p :
Masih banyak mutiara hikmah yang ingin kami tuangkan dalam tulisan ini dari peri hidup Imam Asy-Syafi`ie. Namun dalam kesempatan ini, rasanya tidak cukup halaman yang tersedia untuk memuat segala kemilau mutiara hikmah peri hidup beliau itu. Bahkan telah ditulis oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah wal Jamaah kitab-kitab tebal yang berisi untaian mutiara hikmah peri hidup Imam besar ini. Seperti Al-Imam Al-Baihaqi menulis kitab Manaqibus Syafi`ie , juga Ar-Razi menulis kitab dengan judul yang sama. Kemudian Ibnu Abi Hatim menulis kitab berjudul Aadaabus Syaafiāie . Dan masih banyak lagi yang lainnya. Itu semua menunjukkan kepada kita, betapa agungnya Imam besar ini di mata para Imam Ahlus Sunnah wal Jamaāah. Semoga Allah Ta`ala menggabungkan kita di barisan mereka di hari kiamat nanti. Amin ya Mujibas saāilin .
Sumber: http://alghuroba.org/
Comments